Go Cashless Indonesia !! sebuah catatan Indonesia Cashless Society

Cashless Society

Pertengahan 2014 lalu publik Indonesia cukup dihebohkan dengan dicanangkannya Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Sebagian pihak terhenyak dan mulai mencari tahu “barang” atau “binatang” apa itu, sebagian lagi beranggapan sinis keberhasilannya dan sebagian sisanya tersenyum serta berkata “inilah saatnya .. kenapa tidak dari dulu sih ? trus apa bedanya dengan yang sudah ada..?”.

Ya, GNNT atau populer disebut Cashless Society merupakan suatu national campaign yang dilakukan pemerintah Indonesia guna mengenalkan serta pentingnya beralih dari transaksi tradisional menggunakan uang tunai ke non-tunai. Walaupun program ini sudah dimulai sejak 2010 (didukung Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dalam Layanan Keuangan Digital)  tetapi pemerintah melalui Bank Indonesia menilai pentingnya refreshment pencanangan GNNT setiap tahun demi terus meningkatkan awareness masyarakat dan pelaku bisnis di Indonesia.

Mengutip pada pernyataan seorang ekonom AS, Robert Reich yang sempat diangkat di Kompas.com

There will be a time – I don’t know when, I can’t give you a date – when physical money is just going to cease to exist.

dunia ekonomi modern yang dijalankan dari pemerintah sampai masyarakat secara global sedang menuju ke arah pengurangan dan bahkan akhirnya penghilangan penggunaan uang fisik atau cashless.

Kenapa harus cashless ? apa untungnya ?

Pengelolaan uang fisik merupakan sesuatu problem atau tantangan tersendiri bagi semua pihak. Dilihat dari kacamata masyarakat/ perorangan, uang fisik sampai saat ini dianggap menjadi alat tukar yang paling praktis terutama untuk transaksi retail atau yang melibatkan aktifitas pasar tradisional. Alasannya sudah pasti, dapat diterima semua pihak dan ditransaksikan kembali secara cepat dengan cara yang sama. Hampir semua orang mengatakan tidak ada masalah dengan penggunaan uang fisik, atau tepatnya belum merasa jika sebenarnya ada masalah.

Masalah ? tentu saja … masalah akan uang fisik itu dapat didengar dari keluhan dan aktifitas kita sehari-hari seperti kehati-hatian ekstra saat membawa uang tunai, apalagi jika jumlahnya banyak. Kapasitas bawa uang fisik yang terbatas dan tidak praktis terutama untuk uang logam. Dan ingat target kriminalitas yang paling umum dan mainstream tentu saja uang fisik. Saya pernah melihat orang yang berpergian jauh dengan kondisi dompet sangat tebal luar biasa dan juga masih membawa amplop coklat untuk tempat “uang besar”, sungguh tidak praktis dan berisiko kan..?

Jika menilik dari sudut pandang bank, sudah pasti pengelolaan uang fisik/ cash lebih mahal dan berisiko. Mahal karena tingginya biaya operasional pengelolaan mulai dari produksi, penghitungan, penyimpanan uang fisik sampai dengan pengasuransian yang harus ditanggung oleh bank. Sebagai informasi tambahan, layanan pick up atau delivery uang tunai oleh bank kepada pelaku bisnis dapat digolongkan dalam layanan high cost dan high risk sejajar dengan layanan kredit/ lending (statement high return tidak perlu saya tulis karena sudah menjadi suatu hal yang wajib ada dalam bisnis bank).

Dari sisi kriminalitas, tentu saja uang tunai/ kartal menjadi komponen utama pelaku krminal dalam hal suap menyuap atau transaksi lain yang tidak ingin terbaca/ terlacak. Jadi kalau ada koruptor atau penjahat yang tertangkap basah dengan barang bukti sekotak atau sepeti uang tunai, maka dia sedikit lebih pintar daripada yang dengan sangat mudah tertangkap dan terlacak dari aktifitas keuangan di rekeningnya yang mencurigakan .. just kidding πŸ™‚

Yang terakhir kalaupun bisa dibilang out of financial & economic factor, dari sisi medis dan kesehatan bahwa uang fisik mengandung banyak kuman/ bakteri, nah lo.. makanya jangan lupa cuci tangan ya πŸ™‚

Konsep cashless lebih kepada bagaimana angka atau nilai uang berpindah secara elektronik dari satu rekening ke rekening lain tanpa melibatkan pergerakan uang fisik apapun atau disebut transfer.

Kecuali kesepakatan jual beli, bertemunya fisik penjual dan pembeli dapat tidak dipersyaratkan dalam transaksi cashless. Media inisiasi transaksi yang dikenal meliputi warkat transfer, kartu debit (ATM dan EDC), internet banking, mobile banking, uang elektronik atau yang terintegrasi dengan portal pelaku bisnis atau komunitas seperti payment gateway e-commerce.

Dalam praktik nya, skema cashless memiliki banyak kelebihan dibanding transaksi tunai seperti :

  • Praktis dan banyak pilihan alat transaksi, karena membawa warkat, kartu chip, handphone atau token lebih mudah daripada membawa segepok atau sekotak uang tunai kemana-mana.
  • Waktu transaksi lebih cepat khususnya untuk aktifitas transaksi yang bernilai besar.
  • Lebih aman. Baik tunai maupun cashless pasti berisiko, tetapi dari prosentase, angka kriminalitas yang melibatkan uang fisik/ tunai jauh sangat besar dibandingkan ancaman kriminalitas di ranah elektronik yang memberikan keamanan berlapis dan lebih canggih.
  • Beridentitas dan mudah dilacak. berbeda dengan peredaran uang tunai yang sangat susah dan hampir tidak mungkin dilacak, skema cashless dengan segala prosedur kepemilikan dan cara transaksi yang diterapkan regulator memberikan akses monitoring yang ketat serta detail terhadap setiap pergerakan uang sehingga dapat dikontrol dan diawasi. Sebagai informasi, saat ini hanya Bitcoin  yang merupakan salah satu jenis uang elektronik yang masih bersifat anonim sehingga secara pergerakan susah diawasi sama halnya dengan uang tunai.
  • Nilai uang lebih terjaga, karena disimpan dalam rekening bank, maka pendapatan atas jasa bunga dan kemudahan untuk dipindah ke komponen investasi lainnya akan terus menjaga nilai uang dari laju inflasi dibandingkan menyimpan uang tunai dalam waktu yang lama.

Dari keunggulan-keunggukan diatas bukan tidak mungkin bahwa lambat laun skema cashless akan menjadi primadona bagi cara pembayaran umum di Indonesia.

Jika mencoba melihat dari sisi ekonomi sudah pasti efisiensi, transparansi pengawasan, akuntabilitas dan pengelolaan yang efektif terhadap skema transaksi cashless menjadi nilai tambah bagi percepatan perputaran ekonomi. Semakin banyak dana masyarakat terkumpul di rekening bank maka semakin besar pula porsi penyaluran dana tersebut bagi pembangunan ekonomi secara makro.

Menarik jika kita mencoba melihat angka dan fakta bahwa berdasarkan Cashless Journey (Master Cards Advisor) saat ini baru 31 % aktifitas pembayaran di Indonesia menggunakan skema cashless. Jika dibandingkan dengan negara-negara dengan perekonomian yang berkembang pesat serupa Indonesia yang juga dalam proses transisi metode pembayaran, maka kita masih jauh dibawah China (55%) Brasil (57 %), Polandia (41 %) dan Afrika Selatan (43 %). Jangan bandingkan dengan negara-negara maju seperti Belgia (93 %), Perancis (92 %), Kanada (90%), Inggris (89 %), Swedia (89 %), Australia (86%), dan Belanda (85 %) dimana boleh dibilang transaksi cashless sudah menjadi gaya hidup sehari-hari masyarakat disana.

Walaupun transaksi non-tunai masih terbilang kecil di Indonesia, tetapi peningkatannya sendiri dapat dianggap cukup progresif. Menurut catatan Bank Indonesia, pada tahun 2009 terjadi 48 ribu transaksi dengan nilai Rp 1,4 miliar per hari. Jumlah ini meningkat pada 2010, yaitu 73 ribu transaksi dengan nilai Rp 1,9 miliar per hari. Pada 2011 jumlahnya kembali meningkat menjadi 112 ribu kali transaksi dengan nilai Rp 2,7 miliar per hari, dan terus meningkat pada 2012 menjadi 219 transaksi dengan nilai Rp 3,9 miliarper hari, lumayan fanstastis bukan ?

Respon dan Salah Kaprah di Masyarakat

Awal bulan Agustus lalu tepatnya hari Jumat malam saya kebetulan mampir di suatu minimarket di bilangan Cideng Jakarta. Setelah antri 2 menitan di kasir dengan barang belanjaan senilai 60 ribuan akhirnya saya berhadapan dengan si kasir, dan untuk pembayaran seperti biasa saya keluarkan kartu debit yang sudah lecek dan pudar karena sering dipakai πŸ™‚ sebelum kemudian ada salah satu pembeli di belakang saya nyeletuk :

Miss X : Lecek banget mas kartunya .. masi kebaca gak tuh di mesin kasirnya ?

Penulis : wah..iya mbak gimana lagi wong sering digesek, tapi ya Alhamdulillah masih bisa dipakai.

Mixx X : Makanya hari gini kok masih pake kartu debit, gak mau nyoba transaksi cashless mas ?… kalau saya biasa pakai Fl**z mas … enak praktis tinggal tempel.

Penulis : Wah.. bagus ya.. boleh juga ntar saya coba.. trims ya mbak (sambil senyum-senyum geli)

Setelah dialog tersebut pikiran saya langsung campur aduk antara geli karena lucu, prihatin dan aneh. Alasannya tentu saja karena si wanita menganggap membayar belanjaan dengan kartu debit tidak mengikuti trend dan kartu debit itu bukan metode cashless yang saat ini sedang ngetrend, nah !!

Hal tersebut sebenaranya tidak hanya terjadi sekali bahkan sering saya temui dan dengar orang-orang beranggapan bahwa transaksi yang dianggap cashless itu hanya bisa dilakukan dengan suatu produk atau layanan berbasis e-wallet. Suatu mindset yang salah kaprah dan bila dicermati dapat berdampak negatif bagi kelangsungan spirit memasyarakatkan transaksi non-tunai itu sendiri. Lalu bagaimana ini bisa terjadi ?

Seperti yang kita ketahui, beberapa waktu lalu produk uang elektronik memang sedang menjadi sorotan masyarakat. Beberapa bank besar berlomba-lomba meluncurkan layanan uang elektronik berbasis e-wallet (top up) baik berbentuk kartu chip maupun mobile (ponsel). Bahkan Pemda DKI pun menjadikan uang elektronik sebagai alat pembayaran resmi layanan bus Trans Jakarta dengan bekerjasama dengan beberapa bank pemilik produk uang elektronik. Hal inilah yang sebenarnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang agresif terhadap gerakan transaksi cashless. Tetapi di sisi lain peran sosialisasi yang dilakukan oleh bank terlihat lebih condong kepada misi ekspansi produk uang elektronik daripada melakukan edukasi apa, bagaimana dan apa saja lingkup cashless kepada masyarakat/ konsumen.

hal tersebut menimbulkan beberapa hal “unik” dan anggapan salah yang ada di masayarakat seperti :

  1. Mindset bahwa transaksi cashless = e-wallet (kartu prepaid atau mobile) saja. Kartu debit ? transfer internet banking ? warkat transfer ? ahh.. itu mah bukan cashless..!!
  2. Sebagian masyarakat golongan “bankable” tidak menyadari bahwa sebenarnya bertransaksi dengan transfer elektronik antar rekening (contoh : trima transfer gaji, bayar tiket di internet banking, dll) sudah merupakan aktifitas gerakan non-tunai dan mereka sudah melakukannya jauh-jauh hari sebelum produk uang elektronik (e-wallet) ada.
  3. Anggapan sebagian masyarakat bahwa transaksi cashless itu ribet dan sulit. Perlu diketahui bahwa operasional produk e-wallet yang berbasis teknologi memang menjadi gap tersendiri terutama bagi golongan “unbankable” (apalagi yang gaptek) yang notabene justru menjadi target utama dari gerakan nasional non-tunai itu sendiri. Alih-alih mau meningkatkan ekspansi produk cashless justru malah menjadi bumerang bagi bank.

Dari beberapa point diatas dapat tergambarkan bagaimana progress dari pencapaian suatu ekosistem non-tunai di Indonesia masih memerlukan banyak perbaikan dan peninjauan, terutama di sisi bank sebagai agent of change masyarakat.

Konsep Uang Elektronik

Layanan uang elektronik memang sudah menjadi trend sebagai salah satu metode pembayaran non-tunai populer di dunia. Mudah dan praktis merupakan 2 kata kunci yang umum dipakai sebagai tagline promosi layanan ini di seluruh dunia dan memang itulah kenyataannya bagi sebagian orang (termasuk saya pribadi). Uang elektronik memakai skema wallet dimana peneyetoran sejumlah dana ke dalam nomer/ rekening  uang elektronik harus dilakukan agar transaksi dapat dijalankan dengan sumber dana top up tersebut.

Diluar commont practice yang sudah mendunia tersebut, insting kreatif saya tergelitik akan beberapa hal/ pertanyaan yang mungkin bisa menjadi challenge bagi implementasi layanan ini di Indonesia oleh bank seperti :

  1. Siapa target market sebenarnya dari layanan uang elektronik berbasis wallet di Indonesia ?
  2. Apakah golongan “bankable” benar-benar membutuhkan layanan uang elektronik berbasis wallet padahal mereka sudah memiliki rekening di bank ?
  3. Kenapa uang elektronik harus memakai skema wallet ? Bagi golongan “unbankable“, skema ini merupakan suatu keharusan, tetapi bagi golongan “bankable” top up dianggap sebagai aktifitas desentralisasi pengelolaan dana yang berpotensi mengurangi likuiditas dan pendapatan bunga di rekening bank mereka.

Jawaban atas hal-hal diatas yang mungkin diharapkan dapat merangsang bank untuk lebih kreatif dan benar-benar paham apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dalam rangka mendukung program gerakan cashless pemerintah ini bukan hanya sekedar trend.

Input

Implementasi gerakan non-tunai tidak semudah membalik telapak tangan, inovasi besar-besaran di sisi teknologi bukan segalanya melihat pada tantangan dan hambatan yang telah diungkapkan di atas. Bank terus diharapkan menjadi “agent of change” bagi masyarakat dalam suksesnya program nasional ini.

Dalam hal ini terdapat beberapa point input yang mungkin dapat menjadi concern antara lain :

  1. Edukasi, edukasi dan edukasi kepada masyarakat. Ingat.. jika edukasi berhasil, maka closing ke layanan/ produk tertentu tinggal menunggu waktu dengan tingkat keberhasilan yang tinggi dan cenderung terus dipakai (konsisten).
  2. Mulailah dari hal sederhana. bank harus dapat meredam culture shock masyarakat terhadap gerakan non-tunai dengan memperkenalkan produk-produk transaksi sesuai kebutuhan dimulai dari yang paling mudah. Contoh : kalau bisa kartu debit dan rekening tabungan kenapa harus repot-repot to up kartu prepaid atau harus punya handphone untuk bertransaksi via mobile account ?
  3. Regulator dan bank harus berani membuat konsep produk/ layanan baru di luar common practice yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Disaat msyarakat tidak cocok dan enggan melakukan top up proses, apakah ada bank yang pernah berpikir menggabungkan fungsi kartu debit dan metode tapping kartu prepaid dalam suatu konsep kartu debit yang multifungsi (digesek, baca chip atau tapping dengan satu rekening sumber tanpa perlu top up) ?  ..eiitts.. bukan combo card lho ya πŸ™‚

Pada akhirnya bagaimana kita sebagai komponen di masyarakat dapat selalu peka, tanggap, dan kritis dalam mengawal dan mendukung setiap program pemerintah. GNNT melalui Indonesia Cashless Society merupakan satu embrio perubahan yang harus dikawal dan didukung secara positif yang bertujuan meningkatkan derajat kehidupan bangsa dan meningkatkan level perekonomian baik lokal, regional serta global.

Go Indonesia … Go Cashless !!

by : Clint Buyung Perdana

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑